Cinta Diantara Dua Kota

Baiklah teman, untuk mempersingkat waktu,  aku tak akan berlama-lama melanjutkan kisah ku selanjutnya. Simak baik-baik. OK!

Aku hidup ditengah-tengah keluarga yang sederhana. Tidak berlebihan, namun tidak juga berkekurangan.  Ayahku seorang wiraswastawan. Sedangkan ibu hanya seorang ibu rumah tangga yang stand by 24 hours untuk keluarganya. Aku pun dilahirkan bukan dikota yang istimewa yang bisa dibanggakan seperti teman-temanku yang lainnya yang lahir dikota-kota besar. Indramayu. Ya itulah nama kotaku. Salah satu kota kecil di Jawa Barat yang tak terlau akrab di telinga orang Indonesia pada umumnya. Kota kecil yang sering membuat ku malu jika ditanya teman-temanku lantaran mereka sering mengolok-olok kota kelahiranku ini. Mereka sering memojokkan ku dengan berbagai macam image buruk Indramayu yang… (akh… aku sampai tak kuasa menuliskannya). Tak jarang aku menangis dibuatnya. Sungguh menyebalkan!

Aku sendiri sebenarnya belum memahami dan mengenal betul bagaimana jati diri kota kelahiranku. Walaupun sudah 12 tahun aku tinggal di Kota Mangga ini, namun baik ibu ataupun ayahku tak pernah mengenalkan bagaimana Indramayu sesungguhnya. Bagaimana mungkin ibuku mengenalkan seperti apa kepada ku, jika ibu saja bukan asli orang Indramayu? Bagaimana ayah ku mengenalkan bagaimana Indramayu kepada ku, jika ayah saja selalu sibuk dengan pekerjaanya? Tak pernah satu kali pun mereka memberikan gambaran bagaimana Indramayu sebenarnya pada ku. Yang aku tau tentang Indramayu ku selama ini hanyalah sebuah kabupaten yang terletak di sebelah utaranya kota Cirebon, sebelah selatan kota Subang. Itu pun karena ibu ku yang merupakan asli orang Cirebon, dan beberapa sanak saudara bapak ku yang berasal dari Subang. Selebihnya, aku tak tau apa-apa lagi selain itu. Aku hanya tau sedikit sejarah cerita rakyat yang guru ku terangkan padaku ketika kelas 5 SD dan beberapa hasil kesenian Indramayu yang ternyata dianggap oleh masyarakat Indonesia pada umumnya adalah berasal dari kota Cirebon, seperti dangdut Cirebonan misalnya.

Aku sendiri baru mengetahui bagaimana jeleknya Indramayu sedikit lebih banyak ketika aku memasuki pesantren. Tentu saja semua informasi yang aku terima itu tak lain adalah dari teman-teman ku  hingga aku tak jarang mengalihkan pembicaraan jika mereka membicarakan itu. Akh… Pahit rasanya jika mendengarnya. Ingin menyangkal pun aku tak kuasa. Aku tak mempunyai power untuk meluruskan apa yang mereka ucapkan. Karena aku hanyalah seorang anak kecil ingusan yang baru tiba di daerah asing dengan penduduk yang asing pula. Untuk mengantisipasi hal-hal yang yang tidak enak di dengar muncul kembali, tak jarang aku berbohong dengan  menjawab kota kelahiran ibu ku( Cirebon)jika ditanya dimana aku berasal. Karena selain Cirebon merupakan salah satu kota besar yang terkenal, aku juga jauh lebih mengenal Cirebon dari pada kota kelahiran ku sendiri. Semua ini tak lain karena baik ayah maupun ibu ku, mereka lebih sering mengajak ku bepergian ke Cirebon dari pada kedaerah Indramayunya sendiri. Jika ibu mengajak ke Cirebon, itu tak lain karena kerabat ibu lebih banyak yang tinggal disana. Sedangkan ayah, karena ia memegang perusahaan bengkel milik nenek, mau tidak mau ia harus mengkulak dagangannya ke kota udang itu pula.Stok yang ada di Indramayu kurang lengkap. Barang-barang kebutuhan bengkel yang ayah butuhkan hampir semuanya dijual oleh pendatang dari China yang sudah menetap di Cirebon. Tak hanya itu, aku pun jika membeli baju juga lebih suka membeli ke Cirebon. Karena selain lebih murah, pilihan disana jauh lebih banyak. Ya, dua bersebelahan yang amat mencolok perbedaanya.

Walaupun Indramayu jauh dari kesempurnaan, namun sebenarnya ada satu keistimewaan yang Indramayu punya yang kota lain tak punya (selain Aceh): semua siswi di Indramayu yang beragama Islam diwajibkan memakai kerudung. Ya, itulah senjata satu-satunya yang ku pakai ketika mereka mulai mencela kota kelahiran ku tercinta ini. Ya, bupati ku: Pak Yanche (Irrianto Mahfudz Shiddiq Syafiu\’ddin) dikala itu memang benar-benar berhasil mendidik warganya untuk berkerudung. Ya, walaupun mereka hanya memakai kerudung hanya ketika mereka disekolah, namun ini merupakan salah satu senjata ampuh yang tak bisa ditawar oleh para siswa. Walaupun bermula dengan sedikit pemaksaan, namun akhirnya mereka ikhlas sendiri menjalaninya. Dan sebenarnya semua ini berjalan belum lama. Semua ini bermula ketika jamannya Gusdur menjabat menjadi presiden. Ketika itu hanya guru sajalah yang diwajibkan. Kemudian merambat hingga pada siswa-siswanya. Jika mereka tidak memakai kerudung, konsekuensi yang mereka hadapi adalah tidak boleh masuk sekolah. Dari situ pula lah aku mulai mencintai Indramayu ku. I love Indramayu, I love Cirebon. I love you both…

 

Leave a Reply

4 thoughts on “Cinta Diantara Dua Kota

  1. novi

    tenang saja mba lulu. semua kota memiliki kelebihan dan kekurangan.

    jika ada yg sebut kekurangan wajarlah sebagai teman yang mang hobi mencari keburukan. mungkin biar dianggap dah tahu segalanya.

    dulu saat temanku dapat orang solo diwanti-wanti begini begitu. ganti dapat orang jogja juga dicibirin. pindah lagi ke ranah sunda sama.

    tahu tuh manusia. kaya gak asik kalau gak ngegosipin.

    Tapi.. indramayu itu kelebihannya apa ya? koq ane ga pernah dengar

    xixixixi… lariii

    Reply
  2. damai

    tiada yang salah dengan kekurangan atau pun kelebihan itu, Mbak Lulu.
    yang salah itu sudut pandang kita. karena sudut pandang itulah yang membuat anggapan itu berbeda.

    tapi, bukankah kita diciptakan beraneka agar biar bisa saling melengkapi?

    begitu juga dengan kota.
    ya, kan?

    Reply

Leave a Reply to adib mahdy Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *